Jawaban Arya: Tentang Sepotong Benci Itu
Sepotong benci darimu sudah aku terima. Saat aku ingin berangkat kerja kulihat ada cahaya berwarna merah dari kotak pos depan rumah. Ku kira surat peringatan dari mereka yang berpakaian berkerah, ternyata itu sepotong benci darimu. Entah mengapa warnanya merah, mungkin mengandung sedikit amarah. Tak apa lah, aku menerima ini dengan ikhlas. Tapi, Riani, boleh aku sedikit mengklarifikasi tentang kita sewindu yang lalu? Bila diizinkan aku ingin bercerita.
Aku tidak mengerti mengapa kau masih menyimpan sebuah benci untukku. Bukankah waktu itu kita telah membicarakan hal tersebut, walau hanya lewat pesan singkat? Aku kan sudah bilang padamu, Riani, bahwa aku sibuk mencari uang sendiri. Bukankah sudah kuceritakan kepadamu tentang keadaan hidupku? Aku bukan terlahir dari keluarga berada, kau sudah tahu itu. Dan berkali-kali sudah kusebut bahwa kita berdua adalah dua makhluk yang berbeda kasta, bukan? Aku memilih pergi karena aku tahu diri. Aku tidak pantas bersanding menemani dirimu, Riani. Akhirnya, kupilih seorang wanita yang sama baiknya denganmu untuk menemani kesendirianku ini. Maaf bila kau tidak terima semua ini, tapi bukankah cinta sejati tidak harus memiliki?
Riani yang baik hati,
Perpisahan bukan berarti kita harus saling memutus tali silaturahmi. Tapi perpisahan mengajarkan untuk dapat menerima segala kemungkinan di dunia ini. Maaf bila aku tidak selalu terlebih dahulu menghubungi, tapi bukankah dirimu juga perlu menata hati? Hati yang katamu telah tersakiti oleh sikapku ini. Bila aku sering menghubungi, nanti malah rasa di hatimu tidak akan pernah pulih. Katamu, kau adalah seseorang yang sulit berpindah hati. Makanya, aku melakukan itu agar kau mendewasakan diri.
Riani yang sudah bahagia,
Terima kasih kau masih mengingat semua pesan-pesanku sewindu yang lalu. Aku berpesan seperti itu bukan tidak beralasan. Aku seperti itu karena aku tidak ingin kau dengan mudah memberikan perasaan kepada setiap orang. Aku bukannya tidak bertanggung jawab seperti apa yang kau tuliskan di surat itu. Aku hanyalah lelaki yang penuh dengan teka-teki. Orang di sekelilingku bahkan tidak mengerti diri ini. Diri ini hanyalah memahami sendiri. Mereka yang mengenal diriku dari kecil pun tidak memahami apalagi kau yang baru mengenalku seumur jagung. Kita hanya dua orang yang masih perlu mencari. Mencari tahu tentang masing-masing jati diri. Jangan pernah merasa sendiri. Banyak anak muda yang memang sulit melewati ini. Dan kita salah satu dari bagian ini.
Terima kasih juga kepada dirimu yang masih setia mencintai. Mencintai diri yang nista ini. Aku semakin merasa tidak pantas menerima cinta suci darimu. Kau terlalu memakai hati dalam mencintai, Riani. Kau terlalu merasa ingin memiliki. Kita hanyalah sepasang kekasih bukan sepasang burung merpati. Kau terlalu mengikat jiwaku yang bebas ini. Aku juga ingin terbang bebas bersama semua mimpi. Wajar bila diriku sering tidak di sisi.
Sepotong benci darimu telah mengajarkanku bahwa di dunia ini masih ada cinta yang suci, yaitu cinta dari dirimu. Maaf, aku tidak dapat membalas cintamu itu. Aku terlalu hina untukmu. Kau akan mendapat yang lebih baik dariku, Riani.
Riani yang memiliki rasa ingin tahu berlebih,
Soal menyentuh inti jantung, aku belum bisa memberi jawaban pasti. Seperti yang telah aku katakan, aku adalah lelaki dengan penuh teka-teki. Mengetahuiku bukan dengan cara mendesakku dan bertanya melulu, melainkan kau harus mengikuti alur hidupku. Tapi kau tidak seperti itu, jadi aku tidak sempat memberi tahumu. Sebenarnya, kau bisa saja menyentuh itu tapi bukankah kau yang memilih untuk mengakhiri? Katamu, kau tak sanggup menahan rindu untuk selalu bertemu. Tubuh kita hanya terpisah jarak, tapi hati ini masih dengan rasa yang sama. Mencintaimu walaupun aku tahu kita berbeda. Kau tidak percaya karena lingkunganku (katamu) terlalu banyak yang mengganggu. Ya, sudahlah, jangan disesali. Hidup harus terus dijalani.
Riani yang pernah aku sayang,
Sudahlah, hapus air mata yang masih membasahi pipimu akibat ulahku. Aku meminta maaf padamu. Maaf, telah mengkhianati cinta sucimu. Karena benci ini aku jadi teringat dirimu. Sudahkah kau berpindah hati? Ayo, Riani, aku bukan yang terbaik untukmu. Hilangkan rasamu untukku. Ini juga sudah sewindu berlalu. Kau pun harus mendapat pengganti yang lebih pantas untukmu. Jangan takut, aku hanya seseorang yang diutus oleh Tuhan untuk memberikanmu pelajaran. Pelajaran tentang kedekatan, percintaan, dan kehilangan. Kuharap pertemuan kita pada sewindu yang lalu menghasilkan sebuah pelajaran bagimu, bukan trauma bagi hatimu dan perasaanmu. Aku memang yang pertama untukmu tapi aku bukan yang terakhir bagimu. Sekarang waktunya kau membuka diri untuk orang yang baru. Sikap tak acuhku selama ini kuharap dapat membantu dirimu untuk menjauh dariku.
Satu lagi untukmu, aku tak pernah pura-pura menyayangimu. Aku sungguh menyayangimu saat itu. Jangan suka menarik kesimpulan sendiri. Kedalaman laut bisa dihitung tapi hati seseorang siapa yang tahu, bukan? Rianiku sayang, bahagia selalu untukmu di tempatmu berada. Aku pun masih mendoakan yang terbaik untukmu. Semoga kau bersanding dengan orang yang pantas denganmu. Tidak seperti aku pendosa yang tidak mengenal rindu. Dan kuucapkan: Selamat tanggal dua puluh enam!
Tangerang, 26 Februari 2025
Mantanmu yang ingin kau lupakan.
Ps: ini balasan dari Arya yang merupakan inspirasi dari cerpen "Jawaban Alina" karya Seno Gumira Ajidarma. Selamat membaca! Dan bila ada kesamaan cerita, mungkin kamu si Arya :)
Comments
Post a Comment