Perempuan Pembenci Senja
Aku bosan melihat senja di mana-mana! Kuberi
tahu pada dirimu, ya. Aku adalah salah satu orang yang tidak menyukai senja.
Disaat orang-orang menyukai kejinggaannya di setiap sore, aku malah enggan
untuk melihat senja. Mataku suka sakit bila melihat warna yang begitu mencolok.
Entah apa, sih yang membuat senja begitu dielu-elukan oleh banyak orang,
khususnya pemburu foto langit dan beberapa orang yang mungkin ingin membuat
indah tampilan feeds pada Instagramnya.
Bagiku, senja tidaklah indah. Sebenarnya, dulu aku sangat menyukai senja hingga
pada akhirnya aku membencinya.
***
“Bintang, kau akan pergi lagi?” tanya Rina, temanku.
“Ya, aku harus memburu senja. Ia
begitulah indah untuk dilewatkan. Kau mau menemani, Rin?” jawabku dengan penuh semangat.
“Hmm, aku mengantarmu sampai ujung
jembatan saja, ya. Aku ingin segera pulang menemui Ibu.” Rina pamit.
“Iya, tak apa. Salam untuk Ibumu, ya
nanti.” kataku.
“Sip” jawab Rina.
Entah mengapa senja sungguhlah indah
menurutku. Ia memancarkan sinar yang sangat tidak bisa aku lupakan. Warnanya
yang jingga menyala membuat soreku semakin bercahaya. Bila kujabarkan
keindahannya, bisa-bisa aku menjadi kafir karena terlalu memuja senja. Pokoknya
senja sangatlah indah. Tidak bisa dikurangi, dilebihkan boleh.
Kegiatan kesukaanku adalah memotret
senja di tengah jembatan yang menghubungkan fakultasku (fakultas sastra) dengan
fakultas tetangga (fakultas teknik). Hal itu kulakukan setelah jam kuliahku
selesai. Melihat senja dan memotretnya memiliki nilai tersendiri bagiku. Selain
nilai estetika, senja juga memiliki nilai ketenangan bagiku. Aku sungguh
sangatlah tenang bila melihat senja, di mana pun ia berada. Dan setiap aku
sedang memotret senja dan melihat langit yang semakin menjingga lalu berubah
menjadi gelap, aku selalu ditemani seorang lelaki yang aku tidak kenal namanya
siapa. Aku tidak pernah bertegur sapa dengannya karena aku bukanlah tipe orang
yang mudah bergaul dengan orang baru. Hingga pada suatu hari lelaki tersebut
menghampiriku dan mengajakku dalam perbincangan singkat.
“Hai, kulihat kau sungguhlah
menyukai senja.” Sapa lelaki tersebut pada sebuah senja.
“Eh, ya, aku suka melihat senja.
Bagiku ia sungguhlah menenangkan” Aku sempat kaget tiba-tiba disapa olehnya.
“Aku juga suka senja. Bagiku melihat
senja seperti melihat diriku.” Jelas lelaki tersebut.
“Eh, apa maksudnya?” tanyaku heran.
“Perkenalkan, namaku Senja Agung
Pratama.” Tiba-tiba lelaki tersebut mengulurkan tangannya mengajak berkenalan.
“Aku Bintang Kejora.” Kami pun
saling berjabat tangan.
Ternyata perkenalanku dengan Senja
berlanjut. Senja merupakan mahasiswa di fakultas teknik tingkat 4 yang sedang
menggarap skripsi. Kami pun saling menukar nomor telepon untuk tetap saling
berkomunikasi. Kami selalu membuat janji untuk tetap saling melihat senja di
tengah jembatan tersebut. Selagi melihat senja bersama, biasanya si Senja
menceritakan dirinya dan aku mendengarkan dengan seksama. Ternyata, Senja
merupakan orang yang senang berbicara. Berbeda dengan diriku yang agak
tertutup. Tapi dengannya, aku menjadi pribadi yang sedikit terbuka. Senja telah
memberikan diriku kenyamanan. Kenyamanan yang tidak aku dapatkan pada teman-temanku
yang lain. Pada Senja, aku bisa menceritakan segalanya tanpa perlu berpikir
panjang dan Senja pun mendengarkan dengan sabar.
Saat diriku sedang sedih ketika kuis
dadakan yang diadakan dosenku, Senja selalu menghiburku agar tidak usah sedih
lagi. Aku sungguh bahagia bila dekat Senja. Ia memancarkan cahaya yang aku
dapatkan dari senja di sore hari. Senja membuatku ingin memiliki. Senja tahu
tidak, ya, aku mulai menyukainya?
***
Aku sedang berburu senja di tengah
jembatan bersama Senja. Hari itu merupakan hari terakhir masuk kuliah. Senja
sudah mendapatkan gelarnya sebagai sarjana teknik dan aku naik tingkat menjadi
mahasiswa tingkat 4. Kala itu Senja telah menjadi kekasihku. Ia sungguhlah
kekasih yang perhatian. Senja tidak pernah absen menyemangati hariku. Ia selalu
hadir mewarnai hariku dan tentu saja soreku. Namun, hubunganku dan Senja tidak
ada yang mengetahui selain aku, Senja, dan Tuhan.
Hingga pada suatu hari, Senja
menggenggam erat tanganku. Kubalas genggamannya. Ia lalu menatap mataku begitu
dalam. Aku pun merasakan sesuatu, seperti ada yang ingin ia katakan padaku.
“Bintang, aku ingin berkata sesuatu
padamu.” Dengan tatapan yang begitu dalam
“Katakan saja, Senja. Aku menunggu.”
“Bintang, aku tahu kita berdua
saling mencintai dan saling memiliki. Tapi aku harus mengatakan ini. Kita
sampai di sini saja, ya. Maksudku kita putus, ya?”
Entah apa yang ada dipikiran Senja
pada sore itu. Kenapa ia ingin berakhir denganku? Ketika di mana kebahagiaan
telah menyelimuti kami berdua. Setelah kita menjalin hubungan selama 6 bulan.
Ia menyudahi ini semua. Tapi kenapa? Semua tanda tanya itu menghantui soreku.
“Kenapa kamu ingin ini semua
berakhir?” tanyaku tenang.
“Aku merasa aku tidak pantas
untukmu, Bintang. Kamu akan dapat yang lebih baik dariku nanti”
“Tapi kenapa, Senja? Apa alasanmu
menyudahi ini?”
“Aku belum bisa mengatakan ini.
Nanti bila saatnya tiba akan kukatakan. Kita sudahan, ya?”
Aku tidak menjawab. Untuk apa? Aku
sedang mencintainya dan ia malah meminta rasa ini pergi. Aku bingung harus
berkata apa. Senja mengapa kau melakukan ini padaku? Belum sempat aku menjawab,
Senja pun segera menyudahi pertemuan kita yang terakhir itu. Entah mengapa sore
itu senja sungguhlah kelabu karena Senja yang mewarnai soreku telah pergi dari
sisiku tanpa alasan yang aku ketahui.
***
“Bintang, kenapa ya sekarang banyak
novel yang berjudul Senja?” Rina bertanya kepadaku.
“Mungkin nama itu sedang menjual,
Rin.” Jawabku sekenanya.
“Memang bagus ya, nama itu?” Rina
bertanya kembali.
“Entahlah, tapi yang pasti aku tidak
akan memberikan anakku nama ‘Senja’.” Jawabku cuek.
“Kenapa? Nama itu begitu banyak
dicari. Dan bukankah kau sungguh menyukai senja?”
“Karena aku sudah tidak tertarik lagi dengan senja!” jawabku.
***
Aku sungguh membenci senja. Dengan
segala umpatan yang aku ketahui, senja sungguhlah tidak indah. Melihatnya hanya
membuatku luka. Luka yang seharusnya tidak ada. Luka yang seharusnya tidak aku
ciptakan. Senja hanya melahirkan kesakitan. Senja tak lagi sama. Senja hanya
meninggalkan warna jingga yang membuat aku sakit mata. Senja pun tidak abadi
karena ia akan ditelan oleh malam dengan segala temaram. Disaat senja sedang
dipuja-puja aku memilih untuk menjauhinya, karena apa? Karena aku adalah
perempuan pembenci Senja.
Comments
Post a Comment