Sepatu Bola dan Anakku
sumber: https://publicdomainvectors.org/photos/futbol.png |
“Ayah, aku mau sepatu bola yang dipakai sama pemain timnas. Aku boleh minta itu kan?” Pinta anakku saat Ayahnya sedang membaca koran paginya.
“Hmmm” Ayahnya hanya melirik
sebentar lalu melanjutkan membaca koran paginya.
Ini sudah yang ketiga kalinya Andy
merengek meminta sepatu bola. Semenjak ia bermain dengan anak kompleks sebelah,
rasanya kalau bermain bola tanpa mengenakan sepatu bola itu sepertinya tidak
keren. Andy mulai kesal melihat sikap Ayahnya yang hanya diam saja saat ia merengek
minta sepatu bola baru. Andy lalu berlari ke dapur menghampiriku yang sedang
memotong sayuran di sana. Sambil cemberut ia bercerita kepadaku.
“Ibu, kenapa sih Ayah tidak mau
membelikan aku sepatu baru yang seperti dipakai para pemain timnas? Aku sudah
meminta sama Ayah, tapi Ayah hanya diam saja. Ayah sama Ibu sebenarnya sayang
gak, sih sama Andy?” kata Andy panjang lebar.
“Kok Andy ngomongnya gitu? Ayah
sedang tidak punya uang sekarang. Nanti kalau uang Ayah sudah terkumpul, pasti
Andy dibelikan sepatu yang baru. Sementara pakai dulu yang ada, ya.” Jawabku kepada
Andy mencoba menghiburnya.
“Ibu sudah ngomong soal itu
berkali-kali, Bu. Andy bosen kalo hanya diiming-imingi seperti itu. Andy mau
sepatu baru, Bu” Pinta Andy keras kepala.
“Iya, nak. Nanti Ibu usahakan, ya
untuk membelikanmu sepatu bola seperti yang kau inginkan.” Jawabku tenang, yang
sebenarnya sedang memikirkan besok kami makan apa.
Suamiku
dulunya adalah seorang karyawan swasta kawasan di Timur Jakarta. Semenjak
terkena PHK tiga bulan lalu dari kantornya, perekonomian keluarga kami menjadi
tidak menentu. Suamiku hanya bisa duduk di depan teras, membaca koran sambil
menyeruput kopi hangatnya. Sering aku melihatnya membaca kolom lowongan
pekerjaan, tapi hanya membacanya tanpa ada pergerakan. Aku yang melihat
kejadian ini, tentu tidak diam saja menunggu suamiku kembali mendapat kerja.
Dengan modal mesin jahit dari Ibuku dan kemampuanku, aku membantu perekonomian
keluarga kami dengan menjadi tukang jahit rumahan. Memang hasilnya tidak
sebanyak penghasilan suamiku dulu, tapi cukuplah untuk menghidupi kami bertiga
setiap harinya. Hati seorang Ibu mana yang tidak sedih melihat anaknya meminta
sesuatu namun tidak dapat bertindak apa-apa. Tapi bila kuturuti permintaan
anakku itu nantinya kami makan apa?
***
Andy
terlihat murung saat pulang bermain dari lapangan. Dengan wajah cemberut ia
memasuki rumah. Aku baru melihat anakku semurung itu. Kuhampiri dia lalu
kutanyakan ada apa.
“Aku
kesal, Bu. Masa aku tidak boleh bermain dengan mereka kalau tidak mengenakan
sepatu bola.” Adu Andy, anakku dengan murung.
“Kamu
bisa bermain dengan yang lain bila mereka tidak mau menemanimu. Dengan Ibu
misalnya.” Aku mencoba hibur anakku.
“Tapi
Ibu selalu sibuk menjahit. Aku kan inginnya bermain bola di lapangan. Tidak mau
menontoni Ibu yang sedang menjahit.” Jawabnya polos.
“Ibu,
kapan aku dibelikan sepatu bola baru? Aku sangat butuh, Bu. Aku ingin
mengenakannya saat bermain bola di lapangan.” Pinta Andy lagi semakin merengek.
Kujawab
nanti sambil memeluknya dan menghapus air matanya yang menjamah pipinya. Ingin
rasanya aku mengajak anakku ke toko sepatu untuk membeli sepatu idamannya. Akan
tetapi, sebagai Ibu rumah tangga, aku harus mengatur keuangan agar tidak
terjadi defisit di keluarga kami. Lalu kusuruh anakku makan dan jangan
memedulikan perkataan temannya. Teman yang baik tidak akan meninggalkanmu bila
kamu susah.
***
“Yah, gimana? Sudah dapat pekerjaan
yang baru?” tanyaku perlahan pada suamiku.
“Susah, Bu nyari kerja di Jakarta
sekarang. Ayah juga bingung mau daftar di mana. Lowongan lagi kosong semua.”
Suamiku menjawab dengan pasrah.
Ya, memang sangatlah sulit mencari
pekerjaan di kota metropolitan ini. Harus bersaing dengan beribu-ribu perantau
yang juga mencari kerja di kota terpadat di Indonesia ini. Aku yang hanya
lulusan SMK ini juga sangatlah sulit bila ingin mencari pekerjaan di sini. Aku
berharap suamiku cepat mendapatkan pekerjaan. Agar ia dapat membelikan sepatu
bola idaman anak semata wayang kami. Bukan maksud memanjakannya. Tapi aku hanya
tidak tega saja melihatnya setiap pulang bermain dari lapangan dengan wajah
yang murung.
***
“Bu Ricky, kalian udah menunggak
uang sewa tiga bulan. Kapan kalian mau bayar? Saya bisa rugi kalo gini terus.
Kalo mau tinggal yang gratis yaudah di bawah jembatan aja sana!” Tegur pemilik
rumah kontrakan kami saat aku baru tiba dari pasar.
“Iya, Bu. Saya usahakan kami akan
membayarnya bulan ini.” Jawabku sekenanya agar ia tidak terlalu banyak bicara.
“Okee, saya tunggu uangnya seminggu
lagi. Kalo dalam waktu seminggu kalian belom bayar uang sewa lebih baik kalian
angkat kaki dari sini! Biar saya tidak merugi lagi!” Ancam pemilik rumah.
Sang pemilik rumah keluar dan
membanting pintu lumayan keras. Hampir membangunkan suamiku yang sedang
tertidur siang ini. Aku hanya dapat melihatnya dari belakang. Kesal. Bagaimana
bisa aku bayar uang sewa sebesar empat juta itu kalau untuk menyambung hidup
saja susah. Suamiku tidak dapat bertindak apa-apa. Kepala ini rasanya mau
keluar isinya. Bingung memikirkan beban hidup. Sendirian.
Andy masuk ke rumah dengan
membanting pintu, amat keras. Aku sedang duduk di dapur saat itu. Andy berlari
menghampiriku dan merengek kembali soal sepatu baru idamannya.
“Ibu, aku sudah lelah menunggu
sepatu tersebut. Aku mau sepatu itu sekarang, Bu. Pokoknya hari ini aku mau
Ayah dan Ibu membelikan sepatu itu. Titik!” Perintahnya dengan kasar.
“Andy, Ibu sedang tidak punya uang.
Bersabar sedikit lah. Nanti kalau ada uang Ibu pasti belikan.” Jawabku iba sambil
menahan beban hidup.
“Ibu sudah berulang kali bilang
kayak gitu. Ayah sama Ibu tuh sebenernya sayang gak, sih sama Andy? Aku males
tinggal di sini! Ibu dan Ayah jahat!” Kata Andy sambil berlari ke luar pintu
rumah.
Aku mengejar Andy sampai depan
gerbang rumah dan menyuruhnya kembali. Namun Andy malah tambah berlari menjauhi
rumah kami. Tapi tak disangka mobil dari arah berlawanan dengan Andy melaju
sangat cepat dan langsung menabrak tubuh mungil anakku itu. Tubuh Andy terseret
sejauh 50 meter dari tempat kejadian. Aku teriakkan nama Andy sangat keras.
Semua warga langsung menghampiri Andy. Aku menghampiri tubuh mungil itu yang
telah berlumuran darah. Suamiku langsung berlari ke tempat kejadian. Aku tak
tega melihat putra kesayanganku itu tergeletak di jalanan dengan banyak darah
di sekujur tubuhnya. Mobil yang menabrak Andy pun kabur dan tidak sempat di
kejar oleh para warga. Semua warga mencoba menolong Andy. Tubuh mungilnya
tergolek lemah dan tidak bergerak. Segera kami membawanya ke rumah sakit
terdekat.
Aku terisak melihat kondisi Andy
yang sedang berada di ruang UGD untuk penanganan lebih lanjut. Suamiku
memelukku dan mencoba untuk membuat aku lebih tenang. Tapi seorang Ibu mana
yang bisa tenang melihat kondisi anaknya seperti itu. Aku menangis tiada henti
berharap kesembuhan Andy kepada Tuhan. Dokter bilang kondisi Andy sangatlah
kritis. Ia mengalami koma, hatiku hancur berserakan di dada. Andy, kenapa kau
harus berlari meninggalkan rumah demi keinginanmu itu, Nak? Ibu berjanji, nak
bila kamu sadar dari koma Ibu akan membelikan sepatu bola impianmu itu. Tapi
kamu harus bangun dulu, Nak.
Seminggu sudah berlalu, Andy belum
juga menunjukkan dirinya akan siuman. Andy masih dalam tidur panjangnya. Hari
ini giliranku yang menjaga Andy di rumah sakit. Suamiku menjaga rumah sambil
mencari pinjaman uang untuk berobat Andy. Saat aku sedang membacakannya ayat
suci Alquran, air mataku jatuh membasahi tangan mungil Andy. Tak kuasa aku
melihatnya hanya terbaring tidak sadarkan diri selama seminggu. Tiba-tiba
jemari Andy bergerak. Aku melihatnya secara langsung. Ku elus rambutnya dengan
pelan sambil memanggil-manggil namanya.
“Ibu... Ibu... Ibu...” Memanggilku
dengan lemah.
“Andy... Ibu di sini, Nak. Akan
tetap di sini. Kamu mau apa?” Tanyaku terlalu senang melihat anakku sudah
siuman.
“Ibu, maafin Andy yaa yang selalu
meminta-minta sepatu baru sama Ibu. Padahal Ibu sedang tidak punya uang.”
Katanya lemah.
“Ibu mau maafin aku, kan?” tanyanya
ragu.
“Ibu tak pernah marah padamu, Nak.
Maafkan Ibu dan Ayah juga yang tidak bisa membelikan sepatu impianmu. Ibu janji
Ibu akan membelikan sepatu tersebut kalau kamu sudah sembuh.” Kataku sambil
menahan air mata yang jatuh.
“Ibu jangan nangis, ya! Bilang pada
Ayah juga kalau Andy minta maaf padanya. Sekarang Andy baik-baik saja kok.
Pokoknya Ayah dan Ibu jangan mencemaskan keadaan Andy, ya.” Katanya mencoba
menghibur.
“Ibu, selimuti aku bu. Aku dingin.
Aku juga mau Ibu membacakan cerita si Kancil untukku. Aku masih lelah, Bu. Aku
mau tidur lagi.” Kata Andy.
“Andy, jangan tinggalkan Ibu dan
Ayah. Ibu dan Ayah sayang sekali sama Andy.” Pintaku padanya.
“Tenang, Bu. Aku Cuma mau tidur aja
kok. Ayo bacakan ceritanya.” Andy meminta.
Saat kubacakan cerita tentang si
Kancil, Andy mulai menutup matanya perlahan. Aku cemas. Ku goyangkan badannya
menanyakan apakah dia masih hidup. Andy hanya menjawab.
“Aku masih hidup, Bu. Aku cuma butuh
tidur saja. Lanjutkan ceritanya, Bu!” Jawabnya tersenyum.
Aku melanjutkan membaca cerita
tersebut. Andy mulai terlelap dan ternyata tidurnya saat itu adalah tidurnya
untuk selama-lamanya. Hatiku sangat sedih ditinggal oleh anak semata wayangku. Andy,
tenang, ya di sana. Ayah dan Ibu yakin pasti Tuhan akan memberikan sepatu bola
baru yang lebih bagus dari yang kau impikan. Semoga kamu betah, ya di
surga-Nya. Yang perlu kau tahu bahwa Ayah dan Ibu akan selalu mencintaimu
sampai kapan pun itu.
TAMAT
Ngelolo Kante Izin Hingga Akhir Musim ? Lihat Beritanya Disini!!!
ReplyDelete