Surat untuk Kakakku Nan Jauh di Sana

Jakarta, 20 Juni 2030

Halo, kak. Apa kabar?
Bagaimana kabar Kak Rani? Ku dengar ia sedang mendapatkan promosi.
Bagaimana pula kabar ponakanku, Sinta, kudengar dia akan masuk SMP.
Semoga kakak dan keluarga baik-baik saja, ya.

Dengan datangnya surat ini, berarti kerinduan Ibu pada kakak sudah memuncak bahkan tidak bisa ditahan. Ibu merengek, kapan bisa Ibu lihat wajah kakak, Kak Rani, dan Sinta? Maklumlah Ibu sudah tua, jalannya saja sudah tidak segesit dulu. Namun, Ibu menyuruhku menghubungi kakak karena Ibu takut bila Ibu yang menghubungi, takut dikira mencampuri. Atas dasar pesan Ibu, aku pun menulis surat rindu ini.

Ibu bercerita, kakak dulu salah satu anaknya yang paling ia banggakan. Ya, semua anaknya memang membanggakan, sih tapi kata Ibu, kakak-lah yang paling ia banggakan. Karena apa? Karena kakak satu-satunya anak lelaki di keluarga kita. Betapa Ibu bangga menceritakan kehebatan kakak pada semua tetangga kita saat kakak berhasil masuk perguruan tinggi negeri di kota sebelah. Terkadang, aku iri kenapa Ibu begitu sering memuji kakak. Apakah aku tidak bisa menjadi seperti kakak? Apakah aku banyak kekurangan? Apakah kita terlalu berjarak? Entah lah aku belum menemukan jawab.

Setiap kali Ibu membanggakan kakak, aku selalu mencoba untuk mengingat bagaimana kenangan kakak terhadapku, terhadap adik-adik kakak. Aku hanya mengingat bahwa kakak adalah sosok lelaki yang kerjaannya hanya belajar. Ketika aku dan adik-adikku membantu Ibu membereskan rumah, Ibu tidak pernah menyuruh-nyuruh kakak. Yang aku ingat, Ibu selalu menyuruh kakak untuk fokus terhadap pelajaran. Maka dari itu, kakak berhasil menjadi juara kelas, membanggakan Ayah dan Ibu, membanggakan keluarga kita.

Kemudian kakak pindah ke kota sebelah untuk menuntut ilmu. Aku yang memang tidak memiliki hubungan keluarga yang begitu kuat denganmu, tidak terlalu merindu. Ya, aku biasa saja ketika kakak pergi ke kota tersebut untuk menuntut ilmu hingga akhirnya Ibu yang selalu membesar-besarkan kalau Ibu rindu kakak di rumah. Ibu sering beli makanan lebih satu porsi padahal kakak sedang tidak di rumah. Bila ku tanya mengapa, Ibu hanya menjawab, "Ibu masih suka ingat kakak ada di rumah." Kalau kakak mau tahu, itu berlangsung selama enam bulan. Betapa Ibu selalu merindu dan detik itu aku berpikir, "harusnya aku merindu juga, ya?" 

Setelah menuntut ilmu, kakak kembali ke Jakarta, tinggal se-rumah lagi bersama Ayah, Ibu, aku, dan adik-adik. Aku yang memang dari dulu tidak memiliki kedekatan seperti teman-temanku kepada kakak lelakinya hanya bersikap biasa. Tidak pernah merasakan kehadiran atau pun kehilangan. Kepintaran kakak membuat kakak diterima sebagai pegawai negeri sipil. Satu lagi kebanggaan yang kakak ciptakan untuk keluarga kita. Ibu senang bukan kepalang. Ibu pun selalu menjadikan pegawai negeri sipil sebagai standar pekerjaan. Aku bangga tapi aku tidak menampilkannya. 

Kakak menjadi seorang yang berpenghasilan. Ya, setelah itu kakak menunjukkan bukti bahwa kakak adalah kakak yang bertanggung jawab bagi adik-adiknya. Kakak selalu memberiku dan adik-adik uang jajan tanpa kami minta. Kakak juga selalu menjadi orang yang membelikan aku dan adik-adik baju lebaran di tempat yang mahal, yang tidak bisa Ayah lakukan. Sejak saat itu, kebanggaanku padamu berbentuk. Tadinya tidak terlihat, sekarang menjadi terlihat karena ada hasil yang diberikan, yaitu materi. Akhirnya, kita dekat, kak. Walaupun kedekatan kita bukan karena sering berbagi cerita, berbagi keluh kesah, atau berbagi berita. Kedekatan kita tercipta karena kakak mempunyai hal yang bisa dibagi, yaitu materi. 

 Dua tahun berikutnya, Ayah pensiun dari pekerjaannya. Kakak mulai menjadi tulang punggung keluarga. Ayah masih mendapatkan uang pensiun karena Ayah pensiunan pegawai negeri sipil, tapi uang Ayah tidak bisa mencukupi hidup kita yang begitu sederhana. Setahun kemudian, aku masuk kuliah. Aku berusaha untuk bisa diterima di PTN agar biaya kuliahku tidak begitu mahal. Aku pun ternyata berhasil masuk sana. Dan lagi, kakak yang membiayai uang kuliahku. Aku semakin tahu bahwa bentuk peduli kakak bukan dari berbagi cerita, berbagi keluh kesah, atau pun berbagi berita. Kedekatan kita terlahir karena ada materi di antara kita.

Dua tahun berikutnya, kakak menemukan tambatan hati. Kakak bercerita bahwa ia adalah wanita yang baik-baik. Aku tidak pernah tahu kakak kenal wanita tersebut dari mana. Ku tekankan sekali lagi, kedekatan kita cuma dekat karena materi, bukan karena naluri. Jujur, aku ingin sekali mengintrograsi calon kakak iparku tapi aku sudah mempercayai bahwa pilihanmu yang terbaik. Tiga bulan kemudian, kakak menikahi wanita tersebut, Kak Rani. Kulihat memang ia juga perhatian padaku, tapi sekali lagi. Aku tidak menemukan kedekatan naluri, hanya kedekatan materi.

Setelah kakak menikah, aku merasa sosok kakak sudah menghilang dari rumah. Kakak jarang berkunjung ke rumah. Karena memang tidak pernah berbagi cerita, kita juga tak pernah berbagi kabar. Aku hanya mengetahui kabar kakak dari media sosial. Ya, karena kakak lebih rajin membagikan pada dunia daripada membagikannya pada keluarga. Aku tak mengapa, tapi Ibu-lah yang selalu menanyai kabar kakak. Aku biasanya hanya mengatakan, "Ia baik-baik saja, Bu di sana. Nanti juga berkunjung ke sini." Semoga Ibu mengerti, ya Kak.

Bukan maksudku menggurui, walaupun kedekatan kita bukan kedekatan naluri, aku mencoba untuk tidak mencampuri, tapi aku ingin kakak mengetahui, doa Ibu tak pernah berhenti semenjak kakak ke dunia luar, berkembang biak, dan mendapatkan kesuksesan. Semua yang kakak dapatkan itu karena berkat doa Ibu yang begitu tulus dan yakin bahwa anaknya akan selalu menjadi pribadi yang baik, bersahaja, dan ingat keluarga. Aku tak bisa mengatakannya secara langsung karena aku suka tidak bisa mengontrol diri. Entah nanti aku yang membentakmu atau malah aku yang terlarut dalam kesedihan dan menjatuhkan air mata, maka aku menuliskan surat ini untuk kakak, Kak Romi. Kakakku yang selalu aku banggakan, selalu aku kagumi, dan selalu aku jadikan panutan dalam hal pelajaran. 

Kak, kita sudah sama-sama dewasa. Semoga dengan datangnya surat ini di kotak pos rumahmu, dapat membuatmu tetap menjadi anak yang selalu Ibu banggakan pada orang-orang. Tetap menjadi pribadi yang rendah hati dan tidak melupakan masa lalu, ya Kak. Ku harap kita bisa berjumpa kembali walau hanya satu tarikan nafas. 




Adikmu yang selalu kau ledeki,



Mira



sumber:www.websitependidikan.com

Comments

Popular Posts