Sebuah Catatan Kehilangan
Tahun lalu, tepat di tanggal ini, 27 Maret 2023, keluargaku kehilangan sosok yang menghidupkan rumah tangga kami. Orang yang menjadi Madrasah pertama untuk anak-anaknya.
Tanggal 26 Maret 2023, semua orang datang menjenguk Ibuku yang sedang terbaring tak sadarkan diri di ruang ICU. Ia telah dibantu alat-alat agar tetap hidup. Kerabat-kerabat dekat Ibuku datang menjenguk dan memberi salam yang ternyata akan menjadi salam perpisahan terakhir. Aku yang saat itu baru selesai berjaga malam, enggan pulang karena aku masih ingin berada di dekat Ibuku. Rasanya seperti pertanda bahwa hari itu menjadi hari terakhir aku bertemu Ibuku yang masih bernyawa.
Malam sebelumnya, 25 Maret 2023, dokter menyerahkan surat pernyataan DNR (tidak melakukan RJP) padaku untuk ditandatangani. Kami sekeluarga sudah sepakat, jika memang Ibu kami mengalami henti jantung, para tenaga medis tidak perlu melakukan Resusitasi Jantung Paru pada Ibu kami. Kami hanya tidak ingin beliau mengalami rasa sakit di detik-detik terakhirnya.
Setelah menandatangi surat pernyataan tersebut, aku meminta izin pada suster jaga di sana untuk melihat keadaan Ibuku saat itu. Aku ingin melafalkan nama-nama Allah pada telinganya. Aku harap, Ibuku meninggal dalam keadaan Husnul Khotimah. Suster pun mengizinkanku mendekat pada Ibuku.
Kulihat tubuh Ibuku sudah membengkak. Mungkin karena cairan obat yang masuk dari selang-selang yang dipasangkan di tubuhnya. Ibuku tampak tidak berdaya. Aku kadang merindukan sosoknya yang garang dan suka memarahiku kalau aku pulang malam. Canda tawanya ketika ia bergurau tentang diriku. Namun, saat itu kutatap tubuhnya yang tidak lagi menunjukkan respon ketika disentuh. Melihat keadaannya yang seperti itu, rasanya inginku menangis tapi aku tahan. Aku berjanji untuk tidak membiarkan Ibuku mendengarkan kesedihanku di saat-saat terakhirnya.
Kubisikkan kalimat syahadat Asyhadu an la ilaha illallah, wa asyhadu anna muhammadar rasulullah. Aku juga membisikkan pada telinganya, "Ma, ini anakmu yang datang. Ma, maafkan kami selama menjadi anak-anakmu. Maafkan kakak perempuanku, maafkan adik perempuanku, maafkan aku, dan maafkan kakak lelakiku." Ketika ku sebut nama kakak lelakiku, aku melihat sebuah respon dari tubuhnya. Ibuku nampaknya masih mendengar permintaan maafku. Ku harap Ibuku benar-benar memaafkan segala kesalahan kakak lelakiku.
Lalu, aku keluar dari ruang ICU dan menghampiri kekasihku. Kuceritakan padanya tentang mimpi-mimpi Ibuku yang ingin menyaksikan pernikahan putri-putrinya, ingin melihat cucu-cucu dari anak-anak gadisnya. Tangisku pecah saat aku menyadari bahwa Ibuku tidak akan pernah mengalami momen-momen indah tersebut.
Aku masih tak percaya, semua terasa begitu cepat. Seminggu yang lalu, Ibuku masih bisa diajak bicara. Ia memintaku membelikan burger favoritnya. Ibuku juga masih mengeluh padaku tentang kapan kakak lelakiku datang untuk menjenguk. Kubilang padanya untuk bersabar, mungkin kakakku sedang banyak pekerjaan. Aku tak mau membuat Ibuku makin sedih, kusuruh ia tidur. Aku tak menyangka tidur tersebut ternyata membuatnya tidak tersadar lagi.
Tanggal 27 Maret 2023 dini hari, kakak lelakiku yang saat itu berjaga di depan ruang ICU mengabarkan bahwa Ibuku telah tiada. Aku tidak menangis, aku hanya terdiam sambil mengucap Innalillahi wa inna ilaihi rojiun.
Hari itu memasuki puasa Ramadan ke-4, aku bahkan tidak menyantap makan sahurku dengan benar. Tetangga mulai berdatangan membantu kami yang tidak pernah mengurus kematian seseorang. Semua mencoba menenangkan. Bahkan saat itu air mataku tidak jatuh. Aku hanya terdiam, mencerna apa yang sedang terjadi. Kepergian Ibuku menjadi pembuat lubang di hatiku. Rasanya hatiku seperti bolong tapi tidak tahu harus berbuat apa.
Aku pun mulai mengingat-ingat kapan terakhir aku memeluk Ibuku? Kapan aku mencium keningnya? Kapan aku berterima kasih padanya? Aku lupa itu. Lalu, setelah pemandi jenazah selesai mengkafani Ibuku, aku meminta izin untuk mencium kening Ibuku untuk terakhir kali. "Bu, boleh saya cium kening Ibu saya untuk yang terakhir kali?" Tanyaku. "Boleh, Neng kamu kan anaknya, muhrimnya. Asal jangan kena air mata kamu ya. Nanti beliau wudhu-nya batal," jawabnya. Aku pun mencium kening Ibuku pertama dan terakhir kalinya.
Aku masih termenung atas kehilangan ini. Tatapan mataku kosong. Sampai pada saat Ibuku diturunkan ke liang lahat. Saat kakakku mengadzaninya untuk yang terakhir kalinya. Kulihat tanah-tanah mulai menutupi tubuh Ibuku. Tak kuasa, air mata yang kubendung dari sejak mendengar kabar kepergian Ibuku, akhirnya tumpah dan membasahi pipiku. Aku pun akhirnya tersadar bahwa rasa kehilangan ini begitu besar sampai tangisku pecah dan harus ditenangkan oleh beberapa orang. Separuh duniaku runtuh.
Jika ditanya apakah aku sudah ikhlas atas kepergian Ibuku, sungguh aku pun sudah ikhlas. Aku senang Ibuku sudah tidak perlu merasakan sakitnya jarum suntik yang menusuk tubuhnya di kala ia harus melakukan hemodialisa. Tapi, rasa kehilangan ini tidak pernah tidak membuatku menangis saat menceritakannya ataupun menuliskannya. Aku tidak mau mengulang momen kehilangan itu tapi aku tidak mau menghapusnya dalam memoriku. Aku percaya, waktu akan menyembuhkan.
Aku masih tidak menyangka dengan kepergiannya yang secepat ini. Meskipun kami telah menyiapkan diri tentang berita kehilangan ini, rasanya tetap saja sesakit ini.
Kini setahun sudah kepergian Ibuku. Kami dapat berjalan tanpamu, Ma walaupun kami tertatih-tatih. Kehilanganmu mengajarkanku bahwa setiap yang hidup pasti akan berpulang pada-Nya. Dan kita harus bersiap akan hal tersebut, suka ataupun tidak.
Kutuliskan sebuah catatan kehilangan ini, agar suatu saat ketika waktu telah menyembuhkanku, aku hanya akan tersenyum saat membacanya kembali dan menyadarkanku betapa kuatnya diri ini berdiri di sini.
Semoga engkau berbahagia di Surga Firdaus, ya Mamaku sayang.
Dokumentasi Pribadi |
Jakarta, 27 Maret 2024 23.31
-FZAP
Comments
Post a Comment