Sepotong Benci untuk Mantanku


Hai, Arya yang brengsek,
Aku menuliskan ini dengan segala keindahan bumi yang membentang luas di segala sisi. Kudengar kau sudah memiliki tambatan hati di tempatmu saat ini. Ya, sama aku pun sudah bahagia walaupun masih sendiri. Aku sudah tidak rindu dengan dirimu, apalagi menyebut namamu dalam doaku. Tapi entah mengapa saat aku sedang duduk sendirian di teras rumah, kulihat sepasang kekasih muda sedang bertikai. Sama seperti kita dulu. Mereka mempeributkan masalah komunikasi. Katanya, si lelaki tidak pernah sesekali inisiatif untuk memulai menghubungi. Ya, sama seperti kita dulu. Aku yang tak sengaja mendengar itu (karena sepasang kekasih itu bicara dengan nada tinggi) hanya tersenyum mengingat kita dahulu, yang masih mengedepankan ego daripada logika.
Lalu, karena tiba-tiba teringat dirimu, aku pun mengambil pisau lipat di dapur untuk memotong benci di antara mereka. Kupotong benci itu sebesar uang logam lima ratusan. Kusisakan benci itu pada mereka, karena apa? Karena benci dalam hubungan adalah sebuah proses pendewasaan diri. Ku biarkan mereka menyelesaikan sisa benci yang mereka punya sekarang dengan cara mereka sendiri. Mereka tidak menyadari bahwa benci yang mereka miliki telah kupotong hanya untukmu, Arya. Benci ini pantas untukmu. Benci dari diriku yang tak pernah lupa pernah mencintai dirimu.
Aku tahu memberimu sebuah benci memang agak sedikit menyakiti diriku sendiri, tapi bukankah saat mencintaimu akupun menyakiti diriku sendiri karena dirimu tak pernah sedikitpun mencintai diriku. Bodoh memang tapi kembali lagi, cinta itu menutup saraf warasmu, bukan? Arya, saat mencintai dirimu, saraf warasku tertutup oleh sikapmu kepadaku. Entah itu sikap dirimu yang bersungguh-sungguh menyayangiku atau hanya rasa kasihanmu kepadaku karena sebelum bertemu denganmu diriku tak pernah sebahagia itu.

Arya yang bajingan,
Aku masih mengingat itu semua. Mengingat kamu yang pernah menghiburku, membimbingku, dan pernah mengajariku bahwa dunia ini masih banyak orang-orang tidak bertanggung jawab. Sama seperti dirimu, Arya. Setelah semua cerita di antara kita usai, kau pun membawa semua rasa dalam dada yang tidak sempat aku minta. Kau berhutang padaku, Arya. Kau pun hanya menyisakan rasa benci di dalam hatiku. Makanya, ku potong benci milik sepasang kekasih muda itu agar mereka tidak perlu menjadi seperti diriku. Yang berakhir sendiri dengan benci yang tak pernah aku bagi. Tapi kali ini aku ingin membaginya untukmu, Arya. Agar dirimu tahu betapa aku selama sewindu ini masih membenci dan mencintaimu dalam waktu yang bersamaan.

Arya yang tidak punya hati,
Setelah kupotong benci itu sebesar uang logam lima ratusan, aku ingin mengirimkan benci itu kepadamu lewat pesan singkat di salah satu media sosial. Tempat di mana kita saling mengenal. Saat aku ingin melampirkan sepotong benci untukmu di kolom percakapan kita, kulihat sang operator tidak sanggup mengirimkan sepotong benci itu padamu. Operator itu menuliskan pesan untukku mengenai sepotong benci yang ingin ku kirimkann untukmu. Bunyinya, “Tidak melayani pengiriman benci walaupun itu hanya sepotong. Silakan kirim benci itu lewat tukang pos.” Aku kecewa, ku banting ponselku ke kasur karena ia tidak mampu melampirkan sepotong benci itu padamu. Aku bingung, di zaman milenium ini memangnya tukang pos masih dipekerjakan? Kalaupun masih, apakah dia mau membawakan sepotong benci ini untukmu? Aku rasa sepotong benci ini terlalu berat bila dibawa oleh orang lain. Aku jadi sangsi, sebenarnya aku masih boleh benci tidak, ya denganmu setelah selama sewindu berlalu?
Tanpa banyak berharap, kucoba memasukkan benci itu ke dalam amplop cokelat berstrip biru-merah. Kutuliskan alamatmu lengkap dengan nomor teleponmu dan kutambah dengan stiker “Jangan dibanting!” agar benci itu tidak menjadi berkeping-keping. Aku ingin sepotong benci itu tiba di hadapanmu utuh, Arya. Kubocorkan, ya, dalam sepotong benci itu aku juga menyelipkan sebuah rindu. Rindu yang tak sempat aku sampaikan pada sewindu yang lalu. Saat kau pergi tanpa pernah kita bertemu lagi. Kubiarkan rindu itu datang bersama sepotong benci dariku agar kau tahu bahwa benci dan rindu adalah dua kata yang bisa membuatmu tak menentu.
Sepotong benci itu juga berisi rasa ingin tahuku tentang dirimu. Ya, sewindu yang lalu aku belum sempat menyentuh inti jantungmu. Yang katamu seseorang sebelum aku telah berhasil menyentuhnya dan aku hanya menyentuh kemungkinan-kemungkinan di sekelilingnya. Aku jadi ingin bertanya, kenapa kau tak biarkan kemungkinan-kemungkinan itu menyentuhmu agar kau memberi kesempatan pada orang baru untuk menyentuh inti jantungmu sama seperti seseorang yang dulu? Kau malah tak acuh lalu meninggalkanku dengan rasa ingin tahuku. Wajar lah bila diriku masih ingin mencari tahu jawabanmu itu. Maaf, deh bila rasa ingin tahuku terlalu besar, tapi semua orang di muka bumi ini memang terlahir sebagai seseorang yang tidak tahu, bukan?

Arya yang pernah menyakiti,
Aku harap sepotong benci ini kau terima dengan sepenuh hati. Sama seperti dirimu menerima segala kekuranganku sewindu yang lalu. Kuharap sepotong benci ini dapat menyampaikan kebencianku selama ini yang aku pendam di lubuk hati paling dalam. Kau tahu tidak banyak yang bilang benci itu cinta? Kurasa benci yang kukirimkan bukanlah cinta. Sudah terima saja sepotong benci itu agar kau tau betapa aku terlalu membencimu. Dan, kuucapkan: Selamat hari kebalikan!



Jakarta, 14 Februari 2025



Mantanmu yang tak pernah melupakanmu.



Ps: Cuma tulisan biasa kok, terinsipirasi dari cerpen Seno Gumira Ajidarma: Sepotong Senja untuk Pacarku. Selamat membaca!

Sudah ada balasan dari Arya!: Jawaban Arya: Tentang Sepotong Benci Itu

Comments

Popular Posts